Minggu, 23 Desember 2012

Mengumbar Kekesalan

Rasa kesal adalah warna emosi yang sangat manusiawi. Semua pasti pernah mengalaminya. Terutama di saat sesuatu berjalan tidak sesuai harapan atau harus menerima realita yang tak sanggup dimiliki. Saat pasangan muda-mudi mahasiswa baru melintas di hadapan saya, misalnya, spontan saja otak yang kosong ini menyuruh bibir ini untuk melontarkan reaksinya.

"Anak baru pada pacaran, jalan gandengan tangan di kampus, mana manggil pake panggilan mesra. Gak malu sama almamater? Memalukan!" Padahal, apa urusan saya dengan pasangan itu?

Bisa jadi mereka adalah sahabat. Atau bisa saja mereka memang pasangan kekasih yang sudah lama tak bertemu dan sedang dibakar api cinta. Buat apa juga saya usil mengomentari keberadaan pasangan tersebut?  Ya, tepatnya mungkin saya cemburu dan iri hati tidak bisa memiliki pacar dan kemudian dengan sinis mengomentari berbagai hal yang berkaitan dengan pasangan tersebut.

'Milanisti sejati' juga seharusnya tidak perlu ambil peduli dengan sesama Milanisti yang mengkritik kinerja Allegri. Toh, mereka pun nampak kesal saat rentetan hasil mengecewakan silih berganti menimpa kepala Milan untuk membuatnya semakin terjerembab di tengah klasemen.

Saat mencatat lima laga dengan hasil positif, mereka mulai bangga akan apa yang selama ini mereka bela: "Allegri haters mana suaranya????"

Tanpa memandang apa yang terjadi di lapangan lebih luas lagi, lalu mereka memvonis bahwa Allegri adalah seorang jenius yang punya sentuhan midas jika ia memang mau menyentuhnya.

Berbalik dari apa yang terjadi di atas, saat Milan kembali kalah, tak lupa siapa yang pertama kali harus mereka caci: "Allegri haters langsung berkoar! Seneng nih yee Milan-nya kalah??"

Fans sepakbola memang dikenal akan perilaku mereka yang selalu mendukung apapun yang terjadi pada sebuah klub, apapun yang terjadi. Namun, apakah mereka tidak boleh menyampaikan kritik yang membangun demi perkembangan klub tersebut? Dan mengapa pula mereka begitu membenci saudara mereka sendiri hanya karena perbedaan pendapat? Padahal, mereka berhak atas itu.

Alih-alih mengakui bahwa timnya sedang terpuruk, mereka lebih suka bersikap sinis pada mereka yang mengkritik dengan cerdas yang dialamatkan kepada klub/pelatih. Sesungguhnya itu hanya ekspresi kekesalan dan kekecewaan terhadap buruknya performa tim kesayangan mereka serta kecemburuan dan iri hati atas kebenaran yang dilontarkan para "Milan Lovers". Sangat manusiawi memang. Tapi di sisi lain menunjukan sikap yang tidak berjiwa besar, nilai utama yang seharusnya mendarah-daging bagi suporter.

Mengumbar kekesalan memang dengan cepat akan membuat perasaan kita lebih nyaman, seakan-akan orang atau pihak lainlah yang salah. Jauh lebih cepat ketimbang mengelola rasa kesal itu sebagai bahan instrospeksi dan perenungan untuk kemudian mencari jalan yang lebih tepat untuk meraih pangkal sebab munculnya rasa kesal itu tadi.

Thanks.
Milan Lovers.

Senin, 03 Desember 2012

Chauvinist, Media dan Politishit!

“..GARUDA DI DADAKU, GARUDA KEBANGGAANKU, KU YAKIN HARI INI PASTI MENANG..” itulah hymne para suporter yang sarat fanatisme dan chauvinist yang kerap melontarkan dua hal yang bertolak belakang. Jika Indonesia menang mereka bersorak dan membanggakannya. Namun jika Indonesia kalah, mereka mencari kambing hitam seakan kesebelasan Indonesia itu tidak pernah gagal, salah, dan gugur. Kegagalan, kesalahan, dan keguguran layaknya kita syukuri, karena merekalah yang membuat kita lebih baik untuk kedepannya. Jangan munafik lah, mental orang Indonesia itu memang jauh di bawah standar karena kita (termasuk saya) selalu terbiasa dengan hal-hal yang instant! Pemikiran pragmatis terlalu mendominasi kita, bukan begitu? Akuilah, tidak usah bersembunyi dibalik rasa goblok mu sendiri. Rasa nasionalisme berlebihan muncul dari semua kalangan. Pagelaran sepak bola dalam kancah internasional itu berlomba prestasi, bukan nasionalisme. Sejak kapan nasionalisme diukur dengan seberapa banyak pemain yang dinaturalisasi, gol yang mereka cetak, dan tropi yang kita raih? Stop being chauvinist dude!

Oke, berhenti berbicara tentang suporter yang sarat akan fanatisme dan chauvinist. Sekarang kita tengok media, oh betapa gaharnya kalian rekan-rekan media. Baru menang melawan Singapura saja kalian sudah 'men-juara-kan' timnas Indonesia. Segalanya disorot, hampir saya melihat ada lebih dari 3 tajuk disetiap program berita yang menyiarkan tentang kemenangan timnas Indonesia. Jangan dulu membanggakan hal yang belum tercapai sampai final bung, mari kita duduk dan simak bersama saja. Cara kalian membanggakan timnas Indonesia, membuat para pemain dan mungkin sejajaran para pengurus errrr...........PSSI atau KPSI menjadi besar kepala, merasa bisa tetapi tidak bisa merasa. Dan hasil final? Sangat nihil dari hasil yang kita harapkan.

Dan ini adalah hal terakhir yang membuat saya muak dengan pergelaran AFF 2012 kemarin, politisi-politisi busuk di Indonesia merambah ke sepak bola! Bakrie, nama yang membuat isi perut ingin keluar inilah otak dari hancurnya sepakbola Indonesia. Ide Bakrie merebut hati rakyat sebagai pintu mendapatkan dukungan untuk pemilu 2014 lewat sepakbola itu awal-mulanya berkembang dengan kondusif. Namun di tengah perkembangan itu, La Nyalla Mattalitti dan KPSI menjadi kalap dan menghalalkan segala cara untuk menghancurkan Djohar Arifin. Bahkan kalau perlu PSSI di-suspended oleh FIFA juga tak masalah bagi La Nyalla dan KPSI. Sejak awal KPSI mencari celah dan berupaya menghambat pekerjaan PSSI di bawah Djohar Arifin. Hasilnya relative hancur. Terbukti sekali bahwa Bakrie sangat oportunis demi pemilu 2014. (Haha, maaf, sebagian pecinta sepakbola tidak terpengaruh dengan hal itu pak!) Tapi hebat juga ya, para politisi busuk bisa tahu apa yang sedang digandrungi oleh masyarakat sekarang, ya contohnya sepak bola. Seperti kata pepatah “..ada gula ada semut..”. Sungguh menyayangkan sekali jika persepakbolaan Indonesia memang sudah didominasi oleh para politisi busuk.

Well, i always hope that thing will not happen at any cost!

Sudahlah, berhenti menjadi chauvinist, berhenti menjadi orang tolol, berhenti menjadi kambing dicocok hidung. Mari kita evaluasi bersama apa yang harus dibenahi, apa yang harus dibuang, apa yang harus diambil, dan apa yang harus dipertahankan. Mengapa saya menulis ini dan lalu saya berkata demikian, karena saya cinta negeri ini, Indonesia! Negeri ini sampai kapanpun akan saya cintai dengan jalan yang semestinya saya lakukan, bukan atas perintah dan dominasi orang lain atau mungkin “hal” lain.

KICKS POLITICIANS OUT OF INDONESIAN FOOTBALL!