Rasa kesal adalah warna emosi yang sangat manusiawi. Semua pasti pernah mengalaminya. Terutama di saat sesuatu berjalan tidak sesuai harapan atau harus menerima realita yang tak sanggup dimiliki. Saat pasangan muda-mudi mahasiswa baru melintas di hadapan saya, misalnya, spontan saja otak yang kosong ini menyuruh bibir ini untuk melontarkan reaksinya.
"Anak baru pada pacaran, jalan gandengan tangan di kampus, mana manggil pake panggilan mesra. Gak malu sama almamater? Memalukan!" Padahal, apa urusan saya dengan pasangan itu?
Bisa jadi mereka adalah sahabat. Atau bisa saja mereka memang pasangan kekasih yang sudah lama tak bertemu dan sedang dibakar api cinta. Buat apa juga saya usil mengomentari keberadaan pasangan tersebut? Ya, tepatnya mungkin saya cemburu dan iri hati tidak bisa memiliki pacar dan kemudian dengan sinis mengomentari berbagai hal yang berkaitan dengan pasangan tersebut.
'Milanisti sejati' juga seharusnya tidak perlu ambil peduli dengan sesama Milanisti yang mengkritik kinerja Allegri. Toh, mereka pun nampak kesal saat rentetan hasil mengecewakan silih berganti menimpa kepala Milan untuk membuatnya semakin terjerembab di tengah klasemen.
Saat mencatat lima laga dengan hasil positif, mereka mulai bangga akan apa yang selama ini mereka bela: "Allegri haters mana suaranya????"
Tanpa memandang apa yang terjadi di lapangan lebih luas lagi, lalu mereka memvonis bahwa Allegri adalah seorang jenius yang punya sentuhan midas jika ia memang mau menyentuhnya.
Berbalik dari apa yang terjadi di atas, saat Milan kembali kalah, tak lupa siapa yang pertama kali harus mereka caci: "Allegri haters langsung berkoar! Seneng nih yee Milan-nya kalah??"
Fans sepakbola memang dikenal akan perilaku mereka yang selalu mendukung apapun yang terjadi pada sebuah klub, apapun yang terjadi. Namun, apakah mereka tidak boleh menyampaikan kritik yang membangun demi perkembangan klub tersebut? Dan mengapa pula mereka begitu membenci saudara mereka sendiri hanya karena perbedaan pendapat? Padahal, mereka berhak atas itu.
Alih-alih mengakui bahwa timnya sedang terpuruk, mereka lebih suka bersikap sinis pada mereka yang mengkritik dengan cerdas yang dialamatkan kepada klub/pelatih. Sesungguhnya itu hanya ekspresi kekesalan dan kekecewaan terhadap buruknya performa tim kesayangan mereka serta kecemburuan dan iri hati atas kebenaran yang dilontarkan para "Milan Lovers". Sangat manusiawi memang. Tapi di sisi lain menunjukan sikap yang tidak berjiwa besar, nilai utama yang seharusnya mendarah-daging bagi suporter.
Mengumbar kekesalan memang dengan cepat akan membuat perasaan kita lebih nyaman, seakan-akan orang atau pihak lainlah yang salah. Jauh lebih cepat ketimbang mengelola rasa kesal itu sebagai bahan instrospeksi dan perenungan untuk kemudian mencari jalan yang lebih tepat untuk meraih pangkal sebab munculnya rasa kesal itu tadi.
Thanks.
Milan Lovers.
Ayo menulis :)
BalasHapusSudah lama tidak membaca tulisan mahasiswa jurnalistik yang suka nitip absen ini. good job boy! keren..
BalasHapus